Akuntabel.id, SOLO – Umat Khonghucu yang ada di Kota Solo menggelar sembayang Ching Bing di Thiong Ting, Kecamatan Jebres, Kota Solo, Minggu (10/4/2022). Ching Bing sendiri merupakan sembahyang sadranan, untuk mendoakan para leluhur.
Menurut Ketua Panitia acara tersebut, Js Dian Subagio, acara Ching Bing ini digelar satu tahun sekali.
“Biasanya kita akan datang ke makam leluhur. Jika leluhur dimakamkan ke luar kota, bisa menuliskan nama leluhur, seperti nama-nama yang tertempel pada kertas kuning (Tek),” katanya.
Penulisan nama dalam kertas kuning menggunakan huruf China, yang kemudian ditempel pada mading yang telah disiapkan. Tujuannya adalah untuk memanggil arwah leluhur yang sudah meninggal, untuk mengikuti acara Ching Bing ini.
“Ching Bing biasanya dilaksanakan pada tanggal 4 atau 5 April. Tapi bisa dilakukan 2 minggu sebelumnya, atau 2 minggu setelahnya,” jelasnya.
Sejarah Ching Bing sendiri biasanya dikaitkan dengan dua cerita Tionghoa kuno. Cerita pertama terkait Hari raya makan dingin (Han Sit Ciat), yakni kisah Raja Cin Boen Kong mengenang
Menteri Kai Chu Chui yang sangat setia kepada Raja dan tanah airnya. Saat itu, Cin Boen Kong masih dalam masa pelarian sampai menjadi raja, namun melupakan jasa menterinya tersebut dan akhirnya saat ia menemukannya, sang menteri telah meninggal. Raja Cin Boen Kong sangat berduka, maka saat Ching Bing tahun berikutnya ia memberi perintah agar seharian tidak menyalakan api atau memasak, dan makan secara dingin-dinganan.
Lalu kisah kedua tentang Kaisar Chu Gwan Chiang, yang merupakan kaisar pendiri dinasti Ming. Kaisar Chu Gwan Chiang merupakan seorang bocah yatim piatu yang desanya terkena wabah. sampai disuatu saat ia kesulitan mencari makam kedua orang tuanya yang tercampur dengan banyak makam lain.
Ia pun mengistruksikan agar setelah bersembahyang, rakyat wajib memasang kertas Tek diatas makam sebagai tanda bahwa makam itu sudah disembahyangi. Hingga akhirnya ia menemukan ada sepasang makam tanpa tanda tersebut, yang diyakini sebagai makam orang tuanya.
“Kedua kisah itu seperti makan dingin-dinginan dan memasang kertas Tek masih dilakukan hingga saat ini,” ucapnya.
Dalam sembayang Ching Bing sendiri, terdapat berbagai macam makanan untuk sesaji. Pimpinan Rahaniawan Khonghucu, Ws. Adjie Chandra mengatakan, dalam sesaji itu ada tiga jenis daging yakni, daging ayam, ikan Bandeng atau Gurame, dan daging Babi.
“Artinya orang harus meneladani sifat dasar dari ketiga hewan tersebut. Seperti ayam hewan yang rajin. Ikan bandeng itu simbolis jika orang mendapatkan rejeki harus disisakan. Dan Babi itu simbol celengan, agar kita menabung,” ucapnya.
Sementara buah wajib yang disajikan dalam acara tersebut adalah jeruk dan pisang. Dalam bahasa mandarin, Jeruk memiliki makna berkah atau rejeki, sementara Pisang sendiri memiliki makna jika rejeki akan terus bisa didapatkan.
Upacara Ching Bing di Thiong Ting dimulai dengan bersembahyang ke altar Tian, dilanjutkan ke Kelenteng yaitu altar Dewa Bumi (Hok Tek Cheng Sien), lalu ke altar sembahyang umum yang diatasnya tersaji banyak masakan, buah, kue, minuman dan lainnya. Dibelakang altar terpasang nama para leluhur yang didoakan.
Selesai upacara, kertas berisi nama tersebut akan dibakar bersama dengan Gin Coa, atau membakar benda yang mirip uang, pakaian, mobil, dan lainnya yang terbuat dari kertas.
“Gin Coa itu simbolis mengirim uang, pakaian mobil-mobilan yang terbuat dari kertas. Kalau membakar uang yang beneran tidak boleh, eman-eman juga,” tandasnya.
Comment