Akuntabel.id, KARANGANYAR – Kafe-kafe estetik kini telah menjamur di area jalan tembus Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah menuju Sarangan, Jawa Timur. Bahkan para pemiliknya seolah berlomba-lomba menghadirkan kafe maupun restoran dengan konsep Instagramable.
Melihat bangunan modern tersebut tak jarang banyak wistawan mengira harga makanan di kafe dan restoran tersebut semuanya mahal. Padahal jika dibandingkan dengan harga makanan di sejumlah restoran di Kota Solo dan sekitarnya,harga makanan di Tawangmangu lebih relatif merakyat.
Pemilik Kafe dan Restoran Pentuk View Tawangmangu, Hamid Susanto (31) menceritakan ada kesepakatan paguyuban kuliner soal harga menu. Sehingga dalam penentuan harga, restoran dan kafe akan mengikuti kesepakatan tersebut, termasuk di kafenya.
“Jadi resto di Tawangmangu punya harga standar. Tidak boleh menjual terlalu anjlok, yang lain enggak bisa jualan nanti. Jadi tidak ada kesan saling berebut rezeki,” ungkap Hamid.
Hamid mengaku, paguyuban yang sudah berjalan dua tahun lebih tersebut rutin mengadakan pertemuan tiap bulan. Hal ini dilakukan untuk menyatukan visi misi.
Harga makanan dan minuman yang ia tawarkan berkisar Rp5.000-Rp40.000/porsi. Dengan harga rata-rata makanan berat berkisar di bawah Rp30.000-an/porsi kecuali menu iga yang mencapai Rp40.000/porsi.
Sementara harga menu makanan berat di kafe-kafe serupa di Kota Solo dan sekitarnya rata-rata mencapai Rp30.000-Rp35.000 untuk menu yang sama seperti nasi goreng dan lainnya. Sementara harga makanan di bawah Rp30.000 biasanya hanya untuk menu snack dan olahan mi.
Kopi yang ditawarkan juga hanya berkisar Rp20.000/porsi, sementara menu kopi di kafe-kafe lainnya di Kota Solo dan sekitarnya berkisar Rp22.000-Rp30.000 untuk kelas resto yang sama.
Banyak bermunculannya kafe dan resto baru secara otomati meningkatkan persaingan bisnis kuliner di Tawangmangu. Tak hanya dalam hitungan tahun, namun dalam hitungan bulan ada saja kafe baru yang bermunculan. Hamid mengaku mencoba bertahan lewat marketing media sosial yang menurutnya saat ini menjadi jurus pamungkas.
Menurutnya, media sosial rata-rata membawa pengunjung hampir 80%, sementara 20% di antaranya merupakan pengunjung yang tertarik dari marketing offline atau sekadar datang dari pengendara yang lewat.
“Momen paling meledak saat Lebaran, sayangnya harga tidak bisa dibuat seperti di Kota Solo. Maka terkadang terlihat ramai, tapi hasilnya tidak seberapa. Sedangkan ongkos produksi tidak bisa dibuat murah tapi harga pasar yang memaksa itu. Tapi bagusnya masih ada standarisasi,” tandasnya.
Comment